‎OPINI: Etika Hakim Menegur Wartawan di Ruang Sidang‎

0
1757959969576

Jurnalisis.com – Sidang pengadilan merupakan ruang mencari keadilan yang pada prinsipnya terbuka untuk umum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 64 KUHAP: “Sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali dalam hal undang-undang menentukan lain.” Keterbukaan ini menjadi dasar bagi masyarakat, termasuk wartawan, untuk hadir dan melakukan peliputan.

‎Namun, seandainya dalam praktik terjadi hakim menegur wartawan yang mengambil gambar di ruang sidang, maka rujukannya adalah PERMA No. 5 Tahun 2020 Pasal 4 ayat (6) yang mengatur bahwa pengambilan foto atau rekaman memang harus seizin majelis hakim sebelum sidang dimulai. Bila aturan ini dilanggar, hakim berwenang menegur. Persoalannya, seandainya teguran itu terdengar keras bahkan terkesan membentak, tentu akan menimbulkan tafsir berbeda di mata publik.

‎Dari perspektif etika, seorang hakim terikat Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), yang mengharuskan mereka bersikap sopan, sabar, serta berwibawa. Seandainya teguran disampaikan dengan nada tinggi di depan umum, dikhawatirkan hal itu bisa dipersepsikan sebagai bentuk intimidasi. Padahal mungkin tujuan awalnya hanya untuk menjaga ketertiban persidangan, bukan untuk mempermalukan pihak lain.

‎Kalangan Jurnalis berpendapat, seandainya wartawan lupa meminta izin resmi tetapi tidak mengganggu jalannya sidang, seharusnya hakim cukup menegur dengan cara persuasif: menjelaskan aturan, bukan meninggikan suara. Teguran yang santun justru akan menjaga martabat peradilan.

‎Di sisi lain, wartawan juga punya tanggung jawab. Profesionalisme menuntut agar jurnalis memahami tata tertib sidang, termasuk kewajiban izin bila ingin memotret atau merekam. Namun, seandainya pelanggaran hanya sebatas belum izin tanpa menimbulkan gangguan nyata, maka teguran yang proporsional sudah cukup untuk menertibkan.

‎Pada akhirnya, ruang sidang bukan sekadar tempat mencari keadilan hukum, tetapi juga etalase budaya hukum bangsa. Cara hakim seandainya menegur, cara wartawan meliput, dan cara publik menyaksikan—semuanya akan menentukan wajah peradilan: berwibawa namun tetap terbuka, tegas namun tetap manusiawi. (BH)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *